Puasa Arafah dan Idul Adha.. Ikut Siapa?


Puasa Arafah dan Idul Adha harus merujuk atau menyesuaikan dengan Waktu Makkah. Alasannya adalah sebagai berikut:
  • Puasa Arafah adalah hari ketika jamaah haji melakukan WUKUF di Padang Arafah yang berada di sebelah tenggara Masjidil Haram di Makkah, bukan di tempat lain (selain Padang Arafah).

Dalil: Suatu ketika Rasulullah ditanya tentang pelaksanaan Puasa Arafah dan hari raya Idul Adha, lalu beliau memberikan jawaban berikut; “Berbuka kalian adalah di hari kalian berbuka, penyembelihan kalian adalah di hari kalian menyembelih, dan Arafah kalian adalah di hari kalian melakukan WUKUF di Padang Arafah”. [Diriwayatkan oleh Asy-Syaafi’iy dalam Al-Umm 1/230 dan Al-Baihaqiy 5/176; shahih dari ‘Athaa’ secara mursal. Lihat Shahiihul-Jaami’ no. 4224] 

  • Rasululullah saw melarang Puasa Arafah di Arafah, yang berarti bahwa beliau menganjurkan untuk ber-Puasa Arafah bagi umat Islam diluar Arafah dimanapun mereka berada.

Dalil: Dari Abu Hurairah r.a, dia berkata; “Sesungguhnya Rasulullah SAW telah melarang puasa pada Hari Arafah di Arafah”. (HR. Abu Dawud, An Nasa’i, dan Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya, lihat Imam Syaukani, Nailul Authar [Beirut Dar Ibn Hazm, 2000, hal. 875], hadits no. 1709)

  • Hilal Dzulhijjah untuk penetapan Idul Adha harus berdasarkan rukyat penduduk Makkah.

Dalil: Husain bin Al-Harts Al-Jadaliy pernah berkata: “Bahwasanya pemimpin kota Makkah pernah berkhutbah, lalu berkata: Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam (yang berdiam di Madinah ketika itu) telah berpesan kepada kami agar kami (mulai) menyembelih berdasarkan rukyat. Jika kami tidak melihatnya, namun dua orang saksi ‘adil menyaksikan (hilal), maka kami mulai menyembelih berdasarkan persaksian mereka berdua….” [HR. Abu Dawud no. 2338]

  • Allah SWT seakan sengaja menampakkan bahwa munculnya hilal (bulan sabit) adalah tanda permulaan dimulainya ibadah haji yang berpusat di Ka’bah, Makkah.

Dalil: Firman Allah: Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji.” {QS. Al-Baqarah ayat 189}

  • Allah SWT telah menjadikan Ka‘bah yang berada di Makkah, sebagai pusat kegiatan peribadatan pada bulan haram. Sebagaimana kita ketahui bahwa pelaksanaan Puasa Arafah dan Idul Adha dilaksanakan pada bulan Dzulhijjah yang merupakan salah satu bulan haram, selain bulan Muharrom, Rojab, dan Dzulqo’dah.

Dalil: "Allah telah menjadikan Ka‘bah, rumah suci itu sebagai pusat kegiatan (peribadatan dan urusan dunia) bagi manusia, dan (demikian pula) bulan haram, hadyu (hewan kurban) dan qalā’id (hewan kurban yang diberi kalung). Yang demikian itu agar kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apapun yang ada di langit dan apapun yang ada di bumi dan bahwa Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." {QS. Al-Maidah ayat 97}

Bantahan terhadap orang yang tetap tidak mau merujuk atau menyesuaikan dengan waktu Makkah dalam pelaksanaan Puasa Arafah dan Idul Adha:

  • Bagaimana menjelaskan catatan sejarah bahwa Rasulullah sudah ber-Puasa Arafah sebelum adanya wukuf di Arafah dan Nabi tetap Puasa Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah di Madinah?

Jawab:

  1. Perlu diketahui bahwa tidak ada perbedaan mathla’ (waktu munculnya hilal) yang signifikan antara Makkah dan Madinah, sehingga wajar jika Rasulullah saw ber-Puasa Arafah pada 9 Dzulhijjah di Madinah tanpa merujuk ke Makkah yang pada waktu itu Tanah Arafah masih dikuasai kafir Quraisy bertahun-tahun lamanya.
  2. Walau dilaksanakan tanggal 9 Zulhijjah, namun Nabi Muhammad tidak pernah menamakannya dengan Puasa 9 Dzulhijjah, tetapi menamakannya dengan Puasa Arafah yang seakan menegaskan bahwa umat Islam harus merujuk atau menyesuaikan waktu puasanya dengan kejadian WUKUF di Padang Arafah. Selain itu, secara tidak sadar kita seakan digerakkan oleh Allah untuk menamakan pula Idul Adha dengan Lebaran Haji, dimana Haji merupakan ritual ibadah yang dilaksanakan umat Islam di Makkah pada tanggal 10 Dzulhijjah.
  3. Secara kaidah fikih tidak menjadi masalah, bahwa sesuatu yang dihukumkan paling akhir adalah menjadi penjelas dan penentu bagi hukum yang terdahulu. Jadi, bisa saja awalnya Puasa Arafah itu tidak terkait dengan tempat dan peristiwa wukuf, tetapi di akhir-akhir masa kenabian Rasulullah menegaskan – agar tidak terjadi perselisihan – bahwa hari Arafah adalah hari dimana jamaah haji sedang wukuf di Arafah. Dan sunnah yang terakhir inilah yang semestinya diikuti oleh umat Islam di seluruh dunia.

  • Perbedaan waktu adalah sebuah keniscayaan, mengingkarinya adalah kemustahilan. Bahkan di zaman sahabat Abdullah bin Abbas saja antara Madinah dan Syam berbeda ru'yah apalagi antara MAKKAH dan INDONESIA, sehingga seharusnya waktu Puasa Arafah dan Idul Adha merujuk kepada waktu dan tempat di daerah masing-masing, bukan pada momentumnya yang berada di Makkah. Hal tsb bisa dilihat di Hadits Kuraib yang masyhur yang berbunyi sbb:

“Dari Kuraib: Sesungguhnya Ummu Fadl binti Al-Haarits telah mengutusnya menemui Mu’awiyah di Syam. Berkata Kuraib: Lalu aku datang ke Syam, terus aku selesaikan semua keperluannya. Dan tampaklah olehku (bulan) Ramadhan, sedang aku masih di Syam, dan aku melihat hilal (Ramadhan) pada malam Jum’at. Kemudian aku datang ke Madinah pada akhir bulan (Ramadhan), lalu Abdullah bin Abbas bertanya kepadaku (tentang beberapa hal), kemudian ia menyebutkan tentang hilal, lalu ia bertanya; “Kapan kamu melihat hilal (Ramadhan)? Jawabku: “Kami melihatnya pada malam Jum’at” (yang berarti Ramadhan telah genap 30 hari di Syam). Ia bertanya lagi: “Engkau melihatnya (sendiri)?” Jawabku: “Ya! Dan orang banyak juga melihatnya, lalu mereka puasa dan Mu’awiyah Puasa”. Ia berkata: “Tetapi kami melihatnya pada malam Sabtu, maka senantiasa kami berpuasa sampai kami sempurnakan tiga puluh hari, atau sampai kami melihat hilal (bulan Syawwal)”. Aku bertanya: “Apakah tidak cukup bagimu ru’yah (penglihatan) dan puasanya Mu’awiyah? Jawabnya: “Tidak! Begitulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan kepada kami”.

Jawab:

Tentu saja tidak semua ibadah harus merujuk ke Waktu Makkah; seperti sholat dan sedekah. Waktu sholat misalnya; Nabi mencontohkan waktunya merujuk kepada tanda-tanda alam yang ada di sekitar kita, begitupula waktu sedekah yang bisa kapan saja untuk dilakukan. Tapi ini berbeda dengan Puasa di bulan Harom seperti Puasa Arafah dan Lebaran Haji atau Idul Adha yang jelas waktu pelaksanaannya harus merujuk ke Waktu yang berada di Kota Makkah – Arab Saudi.

Mengenai Ibnu Abbas yang tidak menerima ru’yat yang dilakukan oleh penduduk Syam, karena penduduk Madinah tidak melihat hilal pada hari yang sama (malam Jum’at); ijtihad ini menyalahi makna yang shahih dari hadits yang diriwayatkan dari sekelompok orang Anshar, yang menyatakan:

“Hilal Syawal tertutup oleh mendung/awan atas (penglihatan) kami, sehingga kamipun berpuasa pada pagi harinya. Lalu datanglah satu rombongan (kafilah) pada petang hari (menjelang maghrib), kemudian mereka bersaksi di hadapan Rasulullah SAW bahwa mereka telah melihat hilal (bulan sabit) pada hari sebelumnya. Maka Nabi saw memerintahkan mereka (penduduk Madinah) untuk langsung berbuka dan melaksanakan shalat ldul Fitri keesokan harinya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, An Nasa`i, dan Ibnu Majah. Lihat Nailul Authar, jilid IV, hal. 211).

Bahkan dari hadits yang diriwayatkan sendiri oleh Ibnu Abbas, Rasulullah saw pernah menerima persaksian orang yang melihat hilal tanpa menanyakan dimana mereka melihat hilal. Berikut riwayatnya:

“Seorang Arab Badui pernah mendatangi Rasulullah dan berkata, “Sesungguhnya aku telah melihat hilal.” Rasulullah bertanya, “Apakah kamu bersaksi bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) kecuali Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah?” Orang Arab Badui tsb menjawab, “Ya.” Rasulullah bersabda, “Wahai Bilal, umumkanlah kepada manusia supaya mereka shaum esok hari!” <<HR. Abu Dawud (No. 1993), At-Tirmidzi (No. 627), An-Nasa’i (No. 2085), Ibnu Majah (No. 1642)>>

Dari kedua hadits diatas, sebenarnya kita dapat memetik pelajaran bahwa Rukyatul Global demi persatuan umat itu sangat penting. Jika ini dapat terlaksana, maka sebaiknya hal itu merujuk ke Waktu Wakkah karena Makkah adalah Pusat Bumi. Jika kita merujuk pada waktu daerah (berpenghuni) yang melihat hilal duluan, maka ini bisa menimbulkan perbedaan waktu yang signifikan sampai 24 jam; misalnya antara wilayah yang berada di GMT+14 (seperti Kiritimati (Christmas Island) di Kiribati) dengan GMT-10 (seperti Hawaii di AS). Sedangkan jika kita tarik garis waktu dari Kiritimati ke kota Makkah, maka perbedaan waktu dalam melihat hilal hanya sekitar 11 jam saja.

  • Pendapat penentuan awal Dzulhijjah harus ikut Saudi hanya bisa diterapkan pada masa kini saja, karena zaman dulu ada keterbatasan media untuk menginformasikan ke seluruh wilayah Islam. Artinya sudah berabad-abad lamanya seluruh penjuru wilayah Islam berpuasa sesuai tanggal dan bulan setempat atau sesuai wilayah masing-masing.

Jawab:

Ini pendapat yang agak absurd karena catatan sejarah menunjukkan bahwa ulama terdahulu seluruh mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali) telah sepakat mengamalkan ru’yat yang sama untuk penetapan awal bulan Dzulhijjah yang dilakukan oleh penduduk Makkah. Ru’yat ini berlaku untuk seluruh dunia. Karena itu, kaum Muslim dalam sejarahnya senantiasa ber-Idul Adha pada hari yang sama. Fakta ini diriwayatkan secara mutawatir (oleh orang banyak pihak yang mustahil sepakat bohong) bahkan sejak masa kenabian, dilanjutkan pada masa Khulafa’ ar-Rasyidin, Umawiyin, Abbasiyin, Utsmaniyin, hingga masa kita sekarang.

Jikalaupun riwayat tadi benar, maka tentunya pada zaman modern nan canggih saat ini kita harus semakin mengimplementasikan semangat Rukyatul Global sebagaimana telah didalilkan sebelumnya dari sekelompok orang Anshar bahwa rukyat hilal dari negeri seberang mempengaruhi Keputusan Nabi dalam penentuan Hari Raya di Madinah, yang dimana secara spesifik hal ini seharusnya merujuk kepada waktu Makkah sebagaimana tersirat dalam Firman Tuhan dalam Qur’an Surah Al-Ma’idah ayat 97.

  • Jika berpuasa ikut wukuf jamaah haji di Padang Arafah, maka waktu di Indonesia belum menunjukkan wukuf dimulai. Jadi pendapat yang menyatakan bahwa Puasa Arafah mengikuti waktu wukuf jamaah haji adalah hal yang keliru.

Jawab:

Perbedaan waktu antara Indonesia dan Arab Saudi berkisar antara 4 hingga 6 jam lebih cepat tergantung pada zona waktu di Indonesia. Mengenai waktu wukuf, para ulama agak berbeda pendapat. Namun kebanyakan berpandangan seperti yang dikatakan oleh Imam Malik; “Waktu wukuf di Arafah adalah sejak tergelincirnya matahari di Hari Arafah hingga terbitnya fajar pada Hari Raya Kurban.” Hal ini mungkin berdasarkan hadits berikut; “Dari Urwah bin Mudarris Ats-Tsa’labah, ia berkata: “Aku datang kepada Nabi sallallahu alaihi wasallam dan beliau bersabda: “Aku mendatangi Rasulullah sallallahu alaihi wasallam di Muzdalifah, ketika beliau keluar untuk sholat (yaitu Sholat Subuh).” Aku berkata: “Wahai Rasulullah, aku telah datang dari dua Gunung Tayyiy, aku telah melelahkan untaku (karena perjalanan yang jauh) dan aku telah melelahkan diriku sendiri. Demi Allah, tidak ada bukit pasir yang tidak aku pijak. Apakah saya masih bisa menunaikan ibadah haji?” Rasulullah sallallahu alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang menghadiri sholat kami ini dan berdiri bersama kami hingga kami beranjak pergi, lalu ia wukuf di Arafah sebelum itu, baik siang maupun malam, maka ia telah menyempurnakan hajinya dan menyempurnakan manasiknya.””

Disisi lain ada juga pendapat seperti yang dikatakan Imam Ahmad bin Hanbal yang menyebut bahwa; “Waktu wukuf di Arafah adalah mulai terbitnya fajar di Hari Arafah hingga terbitnya fajar di Hari Raya Kurban. Barangsiapa yang sampai di Arafah pada waktu tersebut dalam keadaan sehat dan berakal, maka hajinya telah sempurna.” Hal ini sepertinya dilandaskan pada hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Abdurrahman bin Ya'mar ra yang mengatakan; “Aku menyaksikan Rasulullah SAW didatangi sahabat. Mereka bertanya soal haji pada Rasulullah SAW. Rasulullah SAW bersabda, Haji itu Arafah. Siapa saja yang mendapati malam Arafah sebelum terbit fajar malam Muzdalifah (malam Idul Adha), maka sempurnalah hajinya.”

Namun mari kita coba mengambil pendapat Imam Malik yang merupakan pendapat jumhur ulama. Pada tanggal 15 Juni 2024 (ketika wukuf di Arafah), waktu zhuhur (saat tergelincir matahari) dimulai sekitar pukul 12:22 yang saat itu pada Waktu Indonesia Barat (WIB) menunjukkan pukul 16:22 di tanggal yang sama, dan berakhir sekitar pukul 04:11 (ketika mulai terbit fajar subuh) pada tanggal 16 Juni 2024, yang berarti di WIB adalah pukul 08:11 pada tanggal yang sama. Hal ini berarti di Indonesia masih menunjukkan waktu wukuf ketika mereka ber-Puasa Arafah.

  • Nah bagaimana jika kita di Indonesia Puasa Arafah pada tanggal 16 Juni 2024 sesuai dengan rukyatul hilal di Indonesia?

Jawab:

Pada tanggal 16 Juni 2024 (10 Dzulhijjah 1445 H) penduduk Makkah merayakan Idul Adha, yang ditandai dengan dimulainya sholat ied di Masjidil Haram sekitar pukul 06:00 atau pukul 10:00 WIB. Jika kita melihat dalil yang telah disebutkan sebelumnya, maka Puasa Arafah yang dilaksanakan pada tanggal 16 Juni 2024 di Indonesia dapat dianggap tidak sah, karena sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang berpuasa pada dua hari, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha." Begitupula pada hari-hari setelahnya yang disebut dengan Hari Tasyrik yang jatuh pada tanggal 11-13 Dzulhijjah, kita umat Islam dilarang untuk berpuasa sebagaimana hadits dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, yang berkata: "Tidak diperkenankan untuk berpuasa pada hari Tasyrik kecuali bagi siapa yang tidak mendapatkan hewan kurban ketika menunaikan haji." (HR. Bukhari)

Maka dari itu, mending mengambil sehari sebelumnya seperti yang dianjurkan oleh Lajnah Daimah atau Komite Fatwa dan Penelitian Ilmiah Arab Saudi yang berfatwa; “Hari Arafah adalah hari dimana kaum muslimin melakukan wukuf di Arafah. Puasa Arafah dianjurkan bagi orang yang tidak melakukan haji. Karena itu, jika Anda ingin Puasa Arafah, maka Anda bisa melakukan puasa di hari itu (hari wukuf). Dan jika Anda puasa SEHARI SEBELUMNYA, tidak masalah (BOLEH)”. (Fatwa Lajnah Daimah, no. 4052)

  • Bagaimana kalau kita ikut Pemerintah saja selaku Ulil Amri? Toh kalau Pemerintah salah, Pemerintah yang akan menanggung dosa kita!

Jawab:

  1. Yang dimaksud ulil amri bukanlah pemimpin tertinggi, tetapi pemimpin yang kita percayai. Menurut Abu al-’Ala’ al-Mubarakfuri dalam Tuhfadzu al-Ahwadzi: Syarah Sunan at-Tirmidzi (Dar al-Fikr, Beirut, III/207) bahwa secara harfiah, frasa ulil amri (uli al-amr) dan wali al-amr mempunyai konotasi yang sama, yaitu  al-hakim  (penguasa). Jika wali adalah bentuk  mufrad (tunggal) maka uli adalah jamak (plural). Namun demikian, kata  uli  bukan jamak dari kata  wali. Al-Quran menggunakan frasa  ulil amri dengan konotasi dzawi al-amr, yaitu orang-orang yang mempunyai (memegang) urusan, sebagaimana juga dikatakan Imam al-Bukhari dan Abu Ubaidah. Ini berbeda dengan frasa wali al-amr, yang hanya mempunyai satu makna harfiah, yaitu al-hakim (penguasa). Karena itu, frasa ulil amri bisa disebut  musytarak (mempunyai banyak makna). Sedangkan kata  minkum  berarti diantara kamu. Jadi ulil amri minkum berarti para pemimpin atau para penguasa diantara kamu. Maka dari itu, tidak mengherankan kalau Syeikh Rasyid Ridha mengatakan: Ulil-amri adalah Ahlul hilli wal-Aqdi yaitu orang-orang yang mendapat kepercayaan ummat. Mereka itu bisa terdiri dari tokoh masyarakat, ulama, panglima perang, dan para pemimpin kemaslatan umum termasuk para pemimpin ormas dan partai.
  2. Asbabun Nuzul dari QS. An-Nisaa’ ayat 59 menunjukkan bahwa yang dimaksud ulil amri ketika itu adalah Abdullah bin Huzafah bin Qais yang ditunjuk selaku pemimpin pasukan oleh Nabi saw. Sedangkan dari asbabun nuzul QS. An-Nisaa’ ayat 83, kita mendapati Umar bin Khattab sebagai ulil amri yang pada saat itu merupakan salah satu tokoh masyarakat terpercaya.
  3. Dalam Islam, masing-masing individu memikul dosanya tanpa dapat ditanggung oleh orang lain. Hal ini jelas tersurat dalam QS. Fathir ayat 18 yang menyatakan “Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan jika seseorang yang dibebani berat dosanya memanggil (orang lain) untuk memikul bebannya itu tidak akan dipikulkan sedikitpun, meskipun (yang dipanggilnya itu) kaum kerabatnya”. Sekecil apapun dosa kita, maka akan ada balasannya {QS. Al-Zalzalah ayat 8}.
  4. Allah menyuruh kita agar kita jangan asal mengikuti arahan para penguasa, sehingga laknat Allah menimpa kita! Firman Allah: “Mereka (penghuni neraka) berkata, "Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menaati para pemimpin dan para pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan laknatlah mereka dengan laknat yang besar." {QS. Al Ahzab: 67-68}. Rasulullah pun pernah bersabda; “Dengarkanlah, apakah kalian telah mendengar bahwa sepeninggalku akan ada para pemimpin? Siapa yang masuk kepada mereka, lalu membenarkan kedustaan mereka dan menyokong kezaliman mereka, maka dia bukan golonganku, aku juga bukan golongannya. Dia juga tak akan menemuiku di telaga.” (HR. At-Tirmidzi, An-Nasai dan Al-Hakim).
  5. Jika kita berbeda pendapat atau pandangan, maka kita harus mengembalikannya kepada Firman Tuhan (Al-Qur’an) dan Sabda Nabi (Al-Hadits), bukan kepada siapapun termasuk Pemerintah {QS. An-Nisaa’ ayat 59}
Demikian.. Wallahu a’lam bish-shawab

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pahala Memberi Makan Orang Lain

Arti Ulil Amri